Gambar Sampul Bahasa Indonesia · w_Bab 23 Hikayat dalam Sastra Indonesia
Bahasa Indonesia · w_Bab 23 Hikayat dalam Sastra Indonesia
Sunardi

24/08/2021 11:54:20

SMA 11 KTSP

Lihat Katalog Lainnya
Halaman

Hikayat dalam Sastra Indonesia

277

Kita telah mengetahui bahwa karya sastra Indonesia amat beragam. Dari

bentuk saja, kita mengenal puisi, prosa, dan drama. Salah satu bentuk prosa

lama adalah hikayat. Pada pelajaran ini Anda akan belajar menceritakan kembali

isi sebagian hikayat, membandingkannya dengan novel, mengubah hikayat

menjadi sebuah cerpen, serta menganalisis perkembangan genre prosa dalam

sastra Indonesia.

Pelajaran 23

Hikayat dalam Sastra

Indonesia

Kemampuan Bersastra

Sumber:

blogger. com; sangkanparan.files.wordpress.com

Piawai Berbahasa Cakap Bersastra Indonesia SMA/MA Kelas XI (Program Bahasa)

278

A. Mendengarkan

Tujuan Pembelajaran:

Anda diharapkan dapat membuat resensi tentang drama yang

ditonton

Membuat Resensi Pertunjukan Drama

Seperti sudah kita pahami bahwa resensi merupakan tulisan yang menyajikan sejumlah

informasi tentang “buku”. Pada kenyataannya objek resensi bukan hanya buku. Film, musik,

pertunjukan, termasuk pertunjukan drama, pun dapat diresensi.

Resensi pertunjukan drama biasanya menyajikan gambaran umum tentang drama yang

ditonton. Gambaran tersebut biasanya dipaparkan ke dalam tiga bagian, yaitu pembuka, isi,

dan penutup.

Bagian pembuka menyajikan informasi mengenai lakon yang ditonton seperti judul, nama

penulis naskah, nama grup yang mementaskannya, tempat dan tanggal pementasan. Isi

resensi ini memberikan informasi mengenai sinopsis, gaya pemanggunangan, hal-hal baru

dan menarik, perbandingannya dengan lakon lain. Bagian ini acapkali menekankan pada

kelebihan dan kelemahan yang diresensi. Bagian penutup biasanya berisi penegasan atau

kesimpulan.

Uji Kompetensi 23.1

1. Carilah guntingan koran/majalah yang berisi resensi sinetron! Bicarakan dengan teman-

teman, apa saja yang dikemukakan dalam resensi tersebut!

2

. Susunlah resensi sinetron! Anda boleh menonton tayangannya di layar kaca atau cukup

melihat rekamannya saja. Gunakan resensi yang Anda gunting di atas sebagai model!

B. Berbicara

Tujuan Pembelajaran:

Anda diharapkan dapat menceritakan kembali sastra lama (hikayat)

dalam bahasa masa kini

Menceritakan Kembali Sastra Lama

Sesuai dengan namanya, sastra lama tentu disampaikan dengan bahasa (Indonesia)

lama. Kosakata dan struktur kalimatnya tentu terasa asing bagi kita. Tidak berarti bahwa kita

tidak dapat memahami isinya.

Hikayat dalam Sastra Indonesia

279

Uji Kompetensi 23.2

Ceritakan kembali penggalan cerita lama berikut dalam bahasa saat ini.

1

. Kalakian maka Tuan Syeh Alim di Rimba pun berhentilah serta dengan rakyatnya sekalian.

Dan seketika lagi maka raja gajah pun mendapatkan Tuan Syeh Alim di Rimba itu dengan

segala rakyatnya itu gemuruh bunyinya seperti tagar membelah langit lalu ke bumi. Setelah

didengar oleh isi rimba sekalian raja gajah itu telah sampai serta berhadapan dengan Tuan

Syeh Alim di Rimba itu maka berkatalah Tuan Syeh Alim di Rimba kepada raja gajah

sedang ia lagi di dalam kaharnya, “Hai raja gajah, adapun hamba datang ini kepada tuan

hamba hendak memeriksa salah dan benar hamba” (M. Kasim, dkk,

Spektrum

II).

2. Bermula diceritakan oleh orang yang punya ceritera ini. Ada seorang hamba Allah di Pasai

tun Jana Khatib namanya. Maka tuan itu pergi ke Singapura tiga bersahabat dengan tuan

di Bunguran dan di Selangur. Maka tun Jana Khatib berjalan di pekan Singapura, maka

lalu hampir istana raja; pada ketika itu raja perempuan melihat di tingkap, maka terpandang

kepada tun Jana Khatib. Maka ada sebatang pinang hampir istana itu. Maka ditilik oleh

tun Jana Khatib, belah dua pohon pinang itu. Telah dilihat oleh paduka seri Maharaja

perihal itu, maka baginda pun terlalu marah, maka baginda berkata: “Lihatlah kelakuan tun

Jana Khatib, diketahuinya isteri kita menengok, maka ia menunjukkan pengetahuannya.”

Maka disuruh baginda bunuh. Maka tun Jana Khatib pun dibawa orang kepada tempat

pembunuhan, hampir tempat orang berkedai bikang, serta ditikam orang akan tun Jana

Khatib, darahnya titik ke bumi, badannya gaib tiada berketahuan. Maka oleh orang membuat

bikang itu ditutupnya dengan tutup bikang darah tun Jana Khatib itu, lalu menjadi batu;

datang sekarang pun ada di Singapura. Pada suatu cerita badan tun Jana Khatib itu terhantar

di Langkawi, ditanamkan orang di sana; itulah diupantunkan orang:

Telur itik dari Senggora,

Pandan terletak dilangkahi.

Darahnya titik di Singapura,

Badannya terhantar di Langkawi.

Dari

Sejarah Melayu

C. Membaca

Tujuan Pembelajaran:

Anda diharapkan dapat membandingkan penggalan hikayat dengan

novel.

Membandingkan hikayat dengan novel

Hikayat dan novel memiliki persamaan tetapi juga perbedaan jika ditinjau dari dari

pengarang, bahasa, isi, dan unsur intrinsik (tokoh, perwatakan, alur, latar, gaya bahasa, tema,

dan lain-lain) yang terkandung di dalamnya!

Piawai Berbahasa Cakap Bersastra Indonesia SMA/MA Kelas XI (Program Bahasa)

280

Uji Kompetensi 23. 3

1. Bacalah dengan cermat awal kedua kisah berikut!

Hikayat Bayan Budiman

Kemarau

Bismi’llahi’rrahmanu’rrahim. Wa

bihi nasta’inu bi’lllahi’ala. Ini hikayat

daripada sahibulhikayat yang dahulu-

dahulu, daripada bahasa Parsi; maka

dipindahkan kepada bahasa Jawi.

Sebermula ada seorang saudagar

di negeri Ajam, Khojah Mubarak

namanya, terlalu amat kaya, akan

tetapi tiada ia ber-anak. Maka Khojah

Mubarak pun minta doa, katanya, “Ya,

Tuhanku! Jikalau kiranya aku beroleh

anak, aku memberi sedekah makan

segala fakir miskin dan darwis.”

Hatta berapa lamanya ia ber-

nazar itu, maka dengan takdir Allah

hendak memperlihatkan rahmat di

atas hambanya, maka saudagar

Khojah Mubarak pun beranaklah

seorang laki-laki terlalu baik paras-

nya. Maka Khojah Mubarak pun

terlalulah suka cita hatinya. Maka

dinamakannya anaknya itu Khojah

Maimun dan dipeliharakannya

dengan sepertinya.

Setelah datanglah umurnya

Khojah Maimun lima tahun, maka

terlalulah baik pekertinya serta

bijaksananya. Maka diserahkan oleh

bapanya Khojah Maimun mengaji

kepada seorang mualim Sabian. Hatta

beberapa lamanya, maka Khojah

Maimun itu pun tahulah mengaji dan

terlalu pasih lidahnya serta banyak

ilmu yang diketahuinya.

Maka datanglah umur Khojah

Maimun lima belas tahun, maka

dipinangkan oleh Khojah Mubarak

Musim kemarau di masa itu

sangatlah panjangnya. Hingga sawah-

sawah jadi rusak. Tanahnya rengkah

sebesar lengan. Rumput padi jadi

kerdil dan menguning sebelum padi-

nya terbit.

Semua petani mengeluh dan

berputus asa. Orang-orang mengomel

perintah yang menyuruh mereka agar

dua kali turun ke sawah di tahun ini.

Setengah bulan setelah benih

ditanam, bendar-bendar tak meng-

alirkan air lagi karena hujan sudah

lama tak turun. Setiap pagi dan setiap

sore para petani selalu memandang

langit ingin tahu apakah hujan akan

turun atau tidak. Tapi langit selalu

cerah di siang hari, dan alangkah

gemerlapnya di malam hari dengan

bintang-bintang. Dan setelah tanah

sawah mulai merekah, mulailah

mereka berpikir. Ada beberapa orang

pergi ke dukun, dukun yang terkenal

bisa menangkis dan menurunkan

hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa

berbuat apa-apa setelah setumpukan

sabut kelapa dipanggangnya

bersama sekepal kemenyan. Hanya

asap tebal yang mengepul di sekitar

rumah dukun itu terbang ke sawang

bersama manteranya. Dan setelah

tak juga keramat dukun itu memberi

hasil, barulah mereka ingat pada

Tuhan. Mereka pergilah setiap malam

ke masjid mengadakan ratib, meng-

adakan sembahyang kaul meminta

hujan. Tapi hujan tak kunjung turun

juga.

Hikayat dalam Sastra Indonesia

281

anak seorang saudagar, amat elok

parasnya, namanya Bibi Zainab.

Maka Khojah Maimun itu pun

dinikahkan dengan anak saudagar

itu. Maka duduklah Khojah Maimun

berkasih-kasihan dengan isterinya

Bibi Zainab.

Hatta beberapa lamanya Khojah

Maimun beristeri itu, kepada suatu hari

ia pergi bermain-main ke pekan, maka

bertemu seorang laki-laki membawa

burung bayan jantan seekor. Maka

kata Khojah Maimun, “Hai laki-laki!

Engkau jualkah burung itu?”

Maka sahut laki-laki itu, “Jikalau

sampai harganya, hamba jual juga.

Maka kata Khojah Maimun,

“Berapa harganya?”

Dari M.G. Emeis,

Bunga Rampai Melaju

Kuno

Ketika rengkahan tanah di

sawah sebesar betis, rumput-rumput

dan belukar sudah menguning,

sampailah putus asa ke puncaknya.

Lalu mereka lemparkan pikirannya

dari sawah, hujan setetes pun tak

mereka harapkan lagi. Sebab meski-

pun hujan akan turun juga saat itu,

taklah ada gunanya bagi sawah

mereka. Dan untuk membunuh rasa

putus asa mereka lebih suka main

domino atau main kartu di lepau-

lepau.

Hanya seorang petani saja

berbuat lain. Ia seorang laki-laki

sekitar 50 tahun. Badannya kekar

dan tampang orangnya bersegi empat

bagai kotak dengan kulitnya yang

hitam oleh bakaran matahari.

A.A. Navis,

Kemarau

2. Tentukan perbedaan kedua cerita di atas ditinjau dari

a. bahasanya

b. pengarangnya

c. latar ceritanya

d. tokoh dan penokohannya

e. hubungan antara isi dengan kehidupan masa sekarang

D. Menulis

Tujuan Pembelajaran:

Anda diharapkan dapat menggubah penggalan hikayat ke dalam

cerpen.

Menggubah penggalan hikayat ke dalam cerpen

Selain hikayat dalam sastra Indonesia Lama juga terdapat cerita lain seperti dongeng

(Hikayat Pelanduk Jenaka),

cerita

lucu

(Lebai Malang),

dan sejarah

(Sejarah Melayu).

Namanya

memang berbeda, tetapi isi, jalan cerita, dan bahasanya tidak jauh berbeda. Perhatikan

penggalan

Sejarah Melayu

berikut!

Piawai Berbahasa Cakap Bersastra Indonesia SMA/MA Kelas XI (Program Bahasa)

282

Uji Kompetensi 23. 4

Ubahlah penggalan Sejarah Melayu berikut ke dalam cerita singkat dengan bahasa masa

kini.

Kata sahibul hikayat, ada sebuah negeri di tanah Andelas Perlembang namanya,

Demang Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak cucu Raja Sulan; Muara

Tatang nama sungainya. Adapaun negeri Perlembang itu, Palembang yang ada

sekarang inilah. Maka hulu Muara Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di

dalam sungai itu ada sebuah bukit Siguntang Mahameru namanya. Dan ada dua orang

perempuan berladang, Wan Empuk seorang namanya, dan Wan Malini seorang

namanya; dan keduanya itu berhuma di bukit Siguntang itu; terlalu luas humanya itu,

syahdan terlalu jadi padinya, tiada dapat terkatakan; telah hampirlah masak padi itu.

Maka pada suatu malam itu dilihat oleh Wan Empuk dan Wan Malini dari rumahnya di

atas bukit Siguntang itu bernyala-nyala seperti api. Maka kata Wan Empuk dan Wan

Malini: “Cahaya apa gerangan bernyala-nyala itu? Takut pula beta melihat dia.” Maka

kata Wan Malini: “Janganlah kita ingar-ingar; kalau gemala naga besar gerangan itu.”

Maka Wan Empuk dan Wan Malini pun diamlah dengan takutnya, lalu keduanya tidur.

Telah hari siang, Wan Empuk dan Wan Malini pun bangun dari tidur, lalu basuh muka.

Maka kata Wan Malini: “Marilah kita melihat yang bernyala-nyala sema

-lam itu.” Maka

keduanya naik ke atas bukit Siguntang itu, maka dilihatnya padinya berbuahkan emas

dan berdaunkan perak dan batangnya tembaga suasa. Maka Wan Empuk dan Wan

Malini heran melihat hal yang demikian itu, maka katanya: “Inilah yang kita lihat

semalam itu.” Maka ia berjalan pula ke bukit Siguntang itu, maka dilihatnya tanah

nagara bukit itu menjadi seperti warna emas.

Dari Sejarah Melayu

E. Ada Apa dalam Sastra Kita

Tujuan Pembelajaran:

Anda diharapkan dapat menganalisis perkembangan genre sastra

Indonesia.

Memahami Perkembangan Prosa

Prosa pada masa lama cukup banyak dan beragam. Ada yang disebut dongeng (

mite

,

sage

, dan

legenda

), cerita binatang (

fabel

), cerita jenaka, cerita pelipur lara, dan hikayat.

Fabel umumnya mengambil kancil sebagai tokoh utama. Cerita jenaka, cerita lucu, seperti

Cerita Pak Belalang, Cerita Pak Pandir, Cerita Pak Kadok,

yang mengundang gelak tawa

menjadi pelipur lara. Ada pula cerita lama yang berbentuk hikayat, seperti

Hikayat Seri Rama,

Hikayat dalam Sastra Indonesia

283

Hikayat Panji Semirang

, dan

Hikayat Amir Hamzah

. Kecuali itu, karya sastra berisi sejarah

seperti

Sejarah Melayu

(Tun Seri Lanang), kisah seperti

Kisah Pelayaran Abdullah dari

Singapura ke Kelantan

karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.

Sejak awal abad ke-20, muncul prosa dengan nama roman (kini: novel) dan cerpen.

Novel pada waktu itu sudah jauh lebih maju daripada hikayat. Demikian juga cerpen. Isinya

tidak lagi melukiskan alam khayali di negara antah berantah, tetapi kehidupan yang lebih

realistis. Pada awalnya, warna kedaerahan masih kuat. Tema yang diusung masih masalah

pertentangan kaum tua-muda (adat) terutama yang berkaitan dengan kawin.

Azab dan

Sengsara

(1918) karangan Merari Siregar, dan

Sitti Nurbaya

(1922) karangan Marah Rusli

terbitan

Balai Poestaka

adalah contohnya

.

Sifatnya didaktis (mendidik).

Pelan-pelan warna dan sifat itu ditinggalkan. Lebih-lebih setelah majalah

Poedjangga

Baroe

(edisi pertama, 1933 terbit). Melalui majalah ini cendekiawan, sastrawan, budayawan

melontarkan pikiran dan gagasannya mengenai bahasa, sastra, budaya, pendidikan, manusia

Indonesia, dan lain-lain.

Layar

Terkembang

(1936) karangan Sutan Takdir Alisjahbana,

melontarkan idealismenya mengenai Indonesia modern.

Belenggu

(1940) karangan Armijn

Pane tidak lagi didaktis, tetapi psikologis.

Di dalam Lembah Kehidupan

(1938) kumpulan

cerpen Hamka menyajikan masalah sehari-hari secara realistis.

Karena pergaulan bangsa Indonesia meluas ke seluruh dunia, pada periode 1940-an

tema bukan lagi idealisme, melainkan humanisme universal.

Atheis

(1948) karangan Achdiat

Kartamihardja,

Tak Ada Esok

(1950) dan

Jalan Tak Ada Ujung

(1952) keduanya karangan

Mochtar Lubis adalah contohnya. Cerpen tidak hanya relaistis tetapi juga ada yang bersifat

simbolik, bahkan sinis.

Tahun 1960-an sastrawan terkotak-kotak dalam bingkai politik. Walaupun begitu, sebagian

enggan masuk kotak politik. Kelompok ini ingin menempatkan seni dan sastra pada tempatnya,

menegakkan kebenaran dan keadilan, serta menegakkan UUD 45 yang doyong. Mereka

melakukan perlawanan terhadap tirani. Pernyataan mereka dikenal dengan sebutan

Manifes

Kebudayaan.

Oleh H.B Jassin kelompok merekalah yang disebut

Angkatan 66

.

Manifes Kebudayaan

– Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah

Manifes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan

nasional kami.

– Bagi kami kebudayaan adalah perjoangan untuk menyempurnakan kondisi hidup

manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor

kebudayaan yang lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan

itu sesuai dengan kodratnya.

– Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan

kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjoangan untuk mempertahankan dan

mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah

masyarakat bangsa-bangsa.

– PANCASILA adalah falsafah kebudayan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

Dari Rosidi,

Ikhtisar Sejarah Sastra

Piawai Berbahasa Cakap Bersastra Indonesia SMA/MA Kelas XI (Program Bahasa)

284

Periode 1970- kemari berkembang bahasan yang abstrak dan filosofis.

Khotbah di Atas

Bukit

(Kuntowijoyo),

Harimau! Harimau!

(Mochtar Lubis), dan

Burung-Burung

Manyar

(Y.B. Mangunwijaya) adalah contohnya. Pada periode ini bermunculan novel populer karya

pengarang wanita. Termasuk di dalamnya

Saman

karya Ayu Utami.

Uji Kompetensi 23.5

Tentukan nama bentuk penggalan berikut, hikayat, cerpen, novel, atau drama!

1

. Kata sahibul hikayat, ada sebuah negeri di tanah Andelas Perlembang namanya, Demang

Lebar Daun nama rajanya, asalnya daripada anak cucu Raja Sulan; Muara Tatang nama

sungainya. Adapun negeri Perlembang itu, Palembang yang ada sekarang inilah. Maka

hulu Muara Tatang itu ada sebuah sungai, Melayu namanya; di dalam sungai itu ada

sebuah bukit Siguntang Mahameru namanya. Dan ada dua orang perempuan berladang,

Wan Empuk seorang namanya, dan Wan Malini seorang namanya; dan keduanya itu

berhuma di bukit Siguntang itu; terlalu luas humanya itu, syahdan terlalu jadi padinya,

tiada dapat terkatakan; telah hampirlah masak padi itu (Sejarah Melayu).

2. Haji Malik sudah tua benar. Sudah beratap seng; artinya kepalanya sudah ditutupi uban,

tidak berjerejek lagi; maknanya giginya sudah habis. Dalam beberapa tahun yang akhir ini,

taatnya berkhidmat kepada Tuhannya bukan alang kepalang. Tingkah lakunya yang

memalukan hati orang banyak terutama ialah suka memberi tak mau meminta; kerap

bernasihat dan tak rela dinasihati; gemar memuji kebaikan orang, sebaliknya tak mau

mengaku kesalahan. (Suman Hs,

Kawan Bergelut

).

3. Kalau beberapa tahun yang lalu tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,

tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya ke arah barat.

Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan di jalan kampungku. Pada

simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di

ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan yang

airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi (A.A. Navis,

Robohnya Surau Kami

).

4. Saudara-saudaraku kaum perempuan, rapat yang terhormat! Berbicara tentang sikap

perempuan baru sebahagian yang besar ialah berbicara, tentang cita-cita bagaimanakah

harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang. Janganlah sekali-

kali disangka bahwa berunding tentang cita-cita yang demikian semata-mata berarti

berunding tentang angan-angan dan pengelamunan yang tiada guna yang praktis sedikit

juapun. (S.T. Alisjahbana,

Layar Terkembang

).

Hikayat dalam Sastra Indonesia

285

○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○○

○○○○○○○○○

Rangkuman

1. Resensi pertunjukan drama merupakan pertimbangan mengenai baik buruknya

pertunjukan. Pertimbangan itu biasanya dipaparkan ke dalam tiga bagian, yaitu

pendahuluan, isi, dan penutup.

2. Sastra lama selalu disajikan dengan bahasa Indonesia lama. Sebagian besar kata-

katanya memang masih kita kenal. Akan tetapi, struktur kalimat dan jalan pikiran

tidak mudah kita ikuti. Oleh karena itu, menceritakan kembali sastra lama berarti

membahasakan sastra ke dalam bahasa sekarang.

3. Hikayat dan novel memiliki persamaan dan perbedaan ditinjau dari pengarang,

bahasa, isi, dan unsur intrinsik (tokoh, perwatakan, alur, latar, gaya bahasa, tema,

dan lain-lain) yang terkandung di dalamnya.

4. Mengubah penggalan hikayat ke dalam cerpen merupakan upaya untuk menuliskan

kembali isi hikayat dengan bahasa sekarang.

5. Prosa berkembang sejak bangsa kita belum mengenal tulisan. Pada masa itu

dongeng (

mite

,

sage

, dan

legenda

), cerita binatang (

fabel

), cerita jenaka, cerita

pelipur lara, dan ada hikayat disebarluaskan secara lisan dari mulut ke mulut. Setelah

berkenalan dengan tulisan dan budaya Barat, muncul bentuk baru yang dikenal

dengan sebutan cerita pendek dan novel.

Evaluasi

1. Sebutkan novel yang terbit pada masa kejayaan Balai Poestaka, Poejangga Baroe, dan

Angkatan ‘45! Masing-masing sebuah lengkap dengan nama pengarangnya!

2. Jelaskan perbedaan antara hikayat dengan novel ditinjau dari bahasa, pengarang, dan

relevansi antara isinya dengan kehidupan masa kini!

3. Ubahlah penggalan berikut ke dalam cerita dengan bahasa sekarang!

Kalakian maka Tuan Syeh Alim di Rimba pun berhentilah serta dengan rakyatnya sekalian.

Dan seketika lagi maka raja gajah pun mendapatkan Tuan Syeh Alim di rimba itu dengan

segala rakyatnya itu gemuruh bunyinya seperti tagar membelah langit lalu ke bumi. Setelah

didengar oleh isi rimba sekalian raja gajah itu telah sampai serta berhadapan dengan Tuan

Syeh Alim di rimba itu maka berkatalah Tuan Syeh Alim di rimba kepada raja gajah sedang

ia lagi di dalam kaharnya, ”Hai Raja gajah, adapun hamba datang ini kepada tuan hamba

hendak memeriksa salah dan benar hamba”. (M. Kasim, dkk,

Spektrum II

)

Piawai Berbahasa Cakap Bersastra Indonesia SMA/MA Kelas XI (Program Bahasa)

286

4. Hikayat, cerpen, novel, puisi, atau dramakah penggalan berikut?

a. Galuh Ajeng mendapat kabar bahwa Galuh Cendera Kirana sudah bertunangan dengan

Raden Inu itu. Galuh Ajeng pun semakin bertambah-tambah sakit hatinya kepada Galuh

Cendera Kirana itu tambahan pula Sang Ratu menaruh kasih dan sayang kepada

Cendera Kirana itu.

Pada masa itu Galuh Ajeng pun menangislah hingga matanya balut dan sembab karena

pada pikirnya, “Mengapa kah kakak Cendera Kirana dipinang aku tiada? Dan bukankah

aku ini anak Sang Nata juga?”

Galuh Ajeng pun tiada berhenti berpikir yang demikian itu, serta menangis dengan

tangis yang amat sangat setiap pagi dan petang.

Paduka Liku melihat hal anaknya, Galuh Ajeng itu matanya balut menangis, sakitlah

hatinya teramat sangat, lalu menghadap ke bawah duli Sang Nata. Paduka Liku itu lalu

duduk berderet dengan Mahadewi di hadapan Sang Nata itu. (M.G. Emeis, “Hikayat

Panji Semirang”

Bunga Rampai Melaju Kuno

)

b. Konon duluuuu ... sekali adalah seorang raja yang sangat bijaksana. Raja Adil namanya.

Pada hari ulang tahunnya, dia selalu mengundang seorang dari rakyatnya untuk makan

di istana. Tahun kemarin ia mengundang Surti, seorang tukang cuci. Dia dianggap

layak diundang karena telah membesarkan anak-anaknya dengan baik. Tahun ini Raja

mengundang Pak Kasih, seorang petani dari desa kecil. (

“Hadiah dari Raja”

Kompas,

27 Februari 2005).

c. Bermula diceritakan oleh orang-orang yang punya ceritera ini. Ada seorang hamba

Allah di Pasai tun Jana Khatib namanya. Maka tuan itu pergi ke Singapura tiga bersahabat

dengan tuan di Bunguran dan di Selangur. Maka tun Jana Khatib berjalan di pekan

Singapura, maka lalu hampir istana raja; pada ketika itu raja perempuan melihat di

tingkap, maka terpandang kepada tun Jana Khatib. Maka ada sebatang pinang hampir

di istana itu. Maka ditilik oleh tun Jana Khatib, belah dua pohon pinang itu. Telah dilihat

oleh paduka seri Maharaja perihal itu, maka baginda pun terlalu marah, maka baginda

berkata: ”Lihatlah kelakuan tun Jana Khatib, diketahuinya isteri kita menengok, maka

ia menunjukkan pengetahuannya.” Maka disuruh baginda bunuh. Maka tun Jana Khatib

pun dibawa orang kepada tempat pembunuhan, hampir tempat orang berkedai bikang,

serta ditikam orang akan tun Jana Khatib, darahnya titik ke bumi, badannya gaib tiada

berketahuan. Maka oleh orang membuat bikang itu ditutupnya dengan tutup bikang

darah tun Jana Khatib itiu, lalu menjadi batu; datang sekarang pun ada di Singapura.

Pada suatu cerita badan tun Jana Khatib itu terhantar di Langkawi, ditanamkan orang

di sana; itulah diupantukan orang:

Telur itik dari Senggora,

Pandan terletak dilangkahi,

Darahnya titik di Singapura,

Badannya terhantar di Langkawi.

Hikayat dalam Sastra Indonesia

287

d. Orang-orang dalam mabuk kemenangan. Segala-galanya di luar dugaannya dan

mimpinya. Keberanian timbulnya sekonyong-konyong seperti ular dari belukar.

Kepercayan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti ruap bir. Pemakaian

pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya

memuaskan. Orang tidak banyak lagi percaya kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan

namanya macam-macam: bom, mitraliyur, mortir. (Idrus ”Surabaya” dalam H.B. Jassin,

Gema Tanah Air

)

e. “Para pemirsa, hari ini, 5 tahun lalu, sama-sama tanggal 2 Februari, sejarah berulang.

Banjir datang melanda kita dengan cara yang sama. Kita pun menghadapinya dengan

cara yang sama. Kita juga menyikapinya dengan nama yang sama. Bencana alam.

Hanya saja sekarang wilayah-wilayah kita yang dulu tidak terjamah, sudah ikut tertutup

air. Saksikan saja gambar di layar kaca Anda.”

Layar televisi terbelah dua, menampilkan banjir lima tahun berselang dan yang kini

masih menggenang. Penduduk yang tadinya segan diungsikan kini terpaksa turun

gunung. Ada yang diangkut dengan perahu karet , ada yang digendong, ada yang naik

truk, numpang pedati, dan ada juga yang memakai dokar.

Yang mengejutkan saya, aneh sekali, mereka semua para korban itu, masih bisa

tersenyum. Anak-anak tetap ceria di atap rumahnya walau air yang butek tambah

tinggi tidak ada jalan keluar, sementara dari pedalaman kiriman tak putus-putus. Tak

ada lagi yang menyalahkan pemerintah. Ternyata mereka sudah terlatih menerima

nasibnya. (Dari Putu Wijaya, “Banjir” dalam

Jawa Pos

, 11 Februari 2007).

f. Astaga

Pagi ini aku sekolah naik bis

Astaga aku kecopetan

Pagi ini aku duduk di kelas

Astaga aku ketiduran

Pagi ini aku naik tangga

Astaga aku terpeleset

Sekarang,

Aku tidak kecopetan

Aku tak ketiduran

Aku tak terpeleset

Tapi,

Astaga aku kesiangan

Dari Kusumaning Dyah, “Astaga,” dalam

Horison

, Februari 1999

Piawai Berbahasa Cakap Bersastra Indonesia SMA/MA Kelas XI (Program Bahasa)

288

Refleksi

Tanyakan kepada guru Anda masing-masing, berapa skor yang Anda peroleh dari jawaban

Anda atas soal evaluasi di atas! Cocokkan dengan tabel berikut untuk mengetahui tingkat

keberhasilan Anda dalam mempelajari materi pada pelajaran ini.

Tabel Penguasaan Materi

Skor

Tingkat Penguasaan Materi

85 – 100

Baik sekali

70 – 84

Baik

60 – 69

Cukup

< 60

Kurang

Apabila tingkat penguasaan Anda mencapai skor 70 ke atas, Anda tergolong siswa yang

berhasil. Akan tetapi, kalau skor yang Anda peroleh di bawah 70, Anda harus mengulangi

pelajaran ini, terutama bagian materi yang belum Anda kuasai.